Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

Pola Asuh Populer Ini Ternyata Tak Meredam Tantrum, Psikolog Bagikan Cara Lebih Efektif

Aisyah Khoirunnisa   |   HaiBunda

Jumat, 26 Sep 2025 21:00 WIB

Pola asuh redam tantrum
Pola asuh redam tantrum/ Foto: Getty Images/GOLFX
Daftar Isi

Bunda, saat anak tantrum atau sedang marah, reaksi kita sebagai orang tua biasanya memberikan timeout atau menyuruh mereka masuk ke kamar. Setelah anak tenang, kita akan melanjutkan aktivitas seolah tidak terjadi apa-apa.

Pola asuh populer ini sering dianggap efektif, tetapi seorang psikolog klinis dari Stanford, Dr. Caroline Fleck, mengatakan pendekatan ini tidak akan bisa meredam tantrum dan tidak cukup untuk mengajarkan anak bagaimana mengatasi emosi dengan baik seperti yang dilansir CNBC Make It.

Mengapa pola asuh populer ini tidak cukup?

Menurut Dr. Fleck, pendekatan ini tidak berbahaya, tetapi sangat tidak lengkap. Ia melihat ketika cara ini sering kali diterapkan dapat menghambat anak dalam mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk memproses perasaan mereka sendiri. Anak-anak yang hanya disuruh "berdamai dengan dirinya" setelah tantrum, tanpa ada percakapan lebih lanjut, hanya akan belajar untuk mengabaikan emosi dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Daripada dipuji karena berhasil menenangkan diri, keberhasilan anak sering diabaikan. Emosi valid yang mereka rasakan juga diabaikan. Hal ini bisa membuat mereka tidak tahu bagaimana cara mengelola emosi dan akhirnya hanya menahannya.

5 Alternatif dari pola asuh populer yang harus dilakukan untuk mengajarkan resolusi konflik

Untuk mendidik anak yang tangguh dan cerdas secara emosional, Dr. Fleck menyarankan lima hal berikut:

1. Akhiri dengan percakapan yang tenang dan menghibur

Percakapan setelah mendisiplinkan anak sebaiknya dilakukan secara lembut dan baru dilakukan setelah semua orang, termasuk Bunda, sudah tenang. Percakapan ini bertujuan untuk mengajari anak cara mengenali dan memvalidasi perasaan mereka sendiri.

Meskipun anak mungkin merasa bersalah, penting untuk memastikan mereka tidak merasa malu dengan siapa diri mereka atau apa yang mereka rasakan.

Cara yang biasa digunakan oleh Dr. Fleck adalah dengan bergantian menjelaskan apa yang dilihat, dipikirkan, dan dirasakan setiap orang ketika sebuah konflik terjadi. Sementara itu, orang lainnya akan mencari cara untuk memvalidasi apa yang dikatakan orang tersebut. 

2. Biarkan anak mengambil inisiatif

Dorong anak untuk menceritakan apa yang terjadi dari sudut pandang mereka terlebih dahulu. Cara ini akan membuat si kecil merasa punya kendali setelah sebelumnya mereka kehilangan kendali tersebut.

Pada momen ini, Bunda harus siap mendengarkan cerita mereka, bahkan jika ceritanya terasa tidak sesuai dengan kenyataan. Tujuannya bukan untuk mencari siapa yang benar, tetapi untuk membuat anak terbiasa mengungkapkan pikiran dan perasaannya.

3. Dengarkan dengan penuh kasih dan tetap tenang

Jika narasi anak Bunda tidak sesuai dengan apa yang terjadi, cobalah untuk tidak menyangkal, tapi gunakan kalimat seperti, "Bunda mengerti mengapa kamu merasa seperti itu". Penting untuk selalu mencoba mengenali dan memvalidasi emosi anak, bahkan jika Bunda tidak setuju dengan detailnya. Contoh kalimatnya: "Pasti menyakitkan rasanya saat merasa tidak didengarkan, kan?"

4. Akui kesalahan Bunda juga

Carilah kesempatan untuk meminta maaf atas hal-hal yang Bunda katakan atau lakukan selama konflik. Permintaan maafnya harus jelas dan lugas, seperti, "Bunda minta maaf karena sudah membentak kamu."

Kemudian, tunjukkan bagaimana Bunda akan memperbaiki diri di masa depan. Contohnya, "Lain kali, Bunda akan menenangkan diri dulu saat mulai merasa marah". Dengan begitu, Bunda mengajarkan anak bahwa tidak apa-apa untuk mengakui kesalahan dan berupaya memperbaikinya. Ingat Bunda, kita harus bisa mencontohkan apa yang ingin si kecil pelajari. 

5. Tunjukkan cara mengidentifikasi emosi Bunda

Setelah anak menceritakan perasaannya, giliran Bunda untuk menjelaskan apa yang Bunda pikirkan dan rasakan selama konflik. Cobalah untuk mengekspresikan emosi yang lebih dalam dari pada sekadar menunjukkan perasaan marah atau frustrasi, yang dari awal sudah bisa si kecil lihat.

Bunda bisa mengatakan hal seperti, "Bunda takut ada yang terluka," atau "Bunda kecewa pada diri sendiri karena tidak bisa membantu". Dengan melakukan ini, Bunda mengajarkan anak bahwa emosi yang kompleks itu normal dan dapat dikelola.

Setelah itu, ajari si kecil untuk memvalidasi perasaan Bunda dengan berbagai pertanyaan, seperti "Bunda pernah merasa seperti itu?", "Bunda paham kenapa aku berpikir seperti ini?"

Dengan menerapkan pendekatan alternatif dari pola asuh populer ini, Bunda membantu anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang mampu menyelesaikan konflik dengan baik, tidak hanya dengan orang lain, tetapi juga dengan diri mereka sendiri.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(rap/rap)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda