Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

Hak Asuh Anak dalam Perceraian Agama Islam Menurut Peraturan di Indonesia

Kinan   |   HaiBunda

Selasa, 05 Aug 2025 15:46 WIB

anak sedih
Ilustrasi/Foto: Getty Images/iStockphoto/kieferpix
Daftar Isi
Jakarta -

Setelah bercerai secara agama Islam, pengaturan hak asuh anak sering kali menjadi perdebatan baru di kalangan orang tua. Sebenarnya seperti apa aturan di Indonesia tentang hak asuh anak?

Perceraian yang terjadi tak hanya berpengaruh bagi perkembangan fisik, tapi juga mental anak. Sebab pengasuhan anak terkadang menjadi yang paling terdampak.

Oleh sebab itu, dalam ajaran Islam ditekankan bahwa perceraian sedapat mungkin perlu dihindari. Hal ini sebagaimana tercantum dalam salah satu hadis Rasulullah SAW, yang diriwayatkan dari Abu Daud dan Ibnu Majah.

Rasulullah bersabda:

"Sesuatu yang halal namun tidak disukai Allah adalah perceraian."

Salah satu hal umum sebagai dampak lanjutan dari perceraian adalah memperebutkan hak untuk mengasuh anak.

Bagaimana pengasuhan anak dalam hukum Islam?

Dikutip dari buku Hukum Hak Asuh Anak: Penerapan Hukum dalam Upaya Melindungi Kepentingan Terbaik Anak, ditulis oleh M. Natsir Asnawi, SHI, MH, pengasuhan anak dalam hukum Islam disebut sebagai hadhanah. 

Hadhanah menurut bahasa berarti 'meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan'.

Dapat pula dimaknai sebagai 'pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya, yang dilakukan oleh kerabat anak itu'.

Hal ini dapat diartikan sebagai melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar tapi belum mumayyiz. 

Dilakukan agar anak mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab saat dewasa kelak. Penting untuk ditegaskan kembali bahwa penyelesaian sengketa hak asuh anak harus didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak.

Hak asuh anak dalam hukum Islam di Indonesia

Aturan-aturan terkait hak asuh anak diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105 sebagai berikut:

1. Periode sebelum mumayyiz

Periode ini dimulai dari sejak anak dilahirkan hingga menjelang umur 7 hingga 8 tahun. Pada masa ini anak belum mumayyiz atau belum dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang baik dan yang buruk.

Jumhur ulama menyimpulkan bahwa dalam masa ini, pihak ibu lebih berhak melakukan pengasuhan terhadap anak.

Salah satunya disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW dari Abu Daud:

"Barangsiapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, Allah akan memisahkannya dengan yang dikasihinya di hari kemudian".

Dalam beberapa riwayat lain dikatakan bahwa ibu jauh lebih mengerti kebutuhan anak, serta lebih mampu memberi perhatian terutama dalam masa balita. 

2. Periode mumayyiz

Periode ini terjadi saat anak mulai berusia 7 tahun hingga menjelang baligh. Ditandai dengan anak telah mampu membedakan antara yang benar dan salah, baik dan buruk, serta bermanfaat dan berbahaya.

Oleh sebab itu, anak dianggap sudah dapat menjatuhkan pilihan atau menentukan sikapnya sendiri. Termasuk menentukan apakah ia akan ikut dan diasuh oleh ibu atau ayah.

Aturan lain yang tak kalah penting, biaya pengasuhan anak sepenuhnya ditanggung oleh ayahnya.

Dari pasal di atas dapat dijelaskan bahwa anak yang yang belum berumur 12 tahun hak asuh jatuh pada ibunya dan anak yang sudah mumayyiz (sudah bisa membedakan baik dan buruk) diberikan pilihan untuk memilih akan ikut ibundanya atau ayahnya. Hal yang pasti, biaya pengasuhan termasuk biaya pendidikan ditanggung oleh ayahnya.

Bisakah ayah mendapatkan hak asuh anak?

Pada dasarnya, seorang ayah juga mempunyai hak asuh anak. Namun, perlu bisa dibuktikan latar belakang dari kondisi tersebut, salah satunya ketika ibunda tidak cakap atau dikhawatirkan tumbuh kembang anak kurang baik. 

Misalnya Bunda secara ekonomi sangat kurang atau Bunda mempunyai akhlak yang kurang baik baik (buruk).

Untuk hal ini, perlu dilakukan musyawarah dan saling bersepakat terlebih dahulu antara dua pihak. Jika memang melalui jalan musyawarah tidak mendapatkan kesepakatan,  maka gugatan hak asuh anak dapat dilakukan ke pengadilan agama.

Dalam pembuatan gugatan, pihak ayah perlu membuat alasan-alasan yang kuat tentang mengapa perlu ditunjuk sebagai pihak penerima hak asuh anak. Untuk membantu proses gugatan ini, seseorang dapat mengajukan sendiri atau juga didampingi oleh penasihat hukum.

Jadi meskipun sudah ada ketetapan aturan tentang hak asuh anak, tetapi kondisi berbeda mungkin saja terjadi. 

Di sini peran pengadilan untuk menggali fakta-fakta mendalam untuk mengetahui sejauh mana relasi anak dan orang tua, serta sekuat apa komitmen dari masing-masing pihak untuk mengasuh anak.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(fir/fir)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda