Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

Parenting ala Jepang agar Anak Mandiri & Tangguh: Filosofi 'Jatuh 7 Kali, Bangkit 8 Kali'

Azhar Hanifah   |   HaiBunda

Sabtu, 26 Jul 2025 17:10 WIB

Parenting ala Jepang
Parenting ala Jepang/ Foto: Getty Images/Image Source
Daftar Isi

Membesarkan anak di era modern tentu memiliki tantangan tersendiri. Selain dituntut untuk mencerdaskan, orang tua juga dihadapkan pada kebutuhan membentuk karakter anak agar kuat, tangguh, dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi kesulitan.

Hal ini menjadi penting, terutama ketika anak mulai berinteraksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas dan kompleks. Tak sedikit orang tua yang bertanya-tanya, bagaimana caranya agar anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga kuat secara mental dan emosional?

Salah satu jawabannya terletak pada pola asuh yang menanamkan nilai ketekunan, kemandirian, dan keberanian untuk bangkit saat jatuh.

Dalam artikel ini, Bunda akan menemukan inspirasi dari filosofi parenting Jepang yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari bersama Si Kecil. Mari simak penjelasannya lebih lanjut berikut ini.

Filosofi “Jatuh tujuh kali, bangkit delapan kali” dalam pola asuh anak Jepang

Dalam mendidik anak agar tangguh dan mandiri, para orang tua di Jepang mengandalkan filosofi hidup yang sederhana namun dalam maknanya: “Nana korobi ya oki” atau “Jatuh tujuh kali, bangkit delapan kali.”

Ungkapan ini bukan sekadar pepatah, melainkan nilai yang tertanam dalam pola pengasuhan masyarakat Jepang sejak anak usia dini. Filosofi ini mengajarkan bahwa kegagalan bukan akhir, melainkan bagian penting dari proses tumbuh dan belajar

Berbeda dengan gaya parenting di banyak negara Barat yang sering kali mengaitkan keberhasilan dengan bakat atau keberuntungan, di Jepang, keberhasilan dilihat sebagai hasil dari usaha.

Anak-anak diajarkan untuk 'ganbaru' yaitu berusaha sekuat tenaga meskipun tantangan tampak berat. Hal ini bukan hanya tentang ketekunan, tetapi juga tentang membangun karakter yang kuat dan tidak mudah menyerah.

Melansir dari laman Savvy Tokyo, pendekatan seperti ini mendorong anak untuk memiliki rasa percaya diri, daya juang, dan sikap pantang menyerah. Filosofi Jepang dalam parenting ini sangat relevan bagi orang tua yang ingin menumbuhkan anak yang tidak hanya cerdas, tapi juga tahan banting menghadapi realitas kehidupan.

Menanamkan ketangguhan sejak dini: “Ganbatte!” bukan “Good Luck!”

Dalam budaya Jepang, anak-anak dibiasakan untuk menghadapi kesulitan dengan keteguhan hati. Alih-alih memberi semangat dengan ucapan “Good luck”, orang Jepang lebih sering mengatakan “Ganbatte!” yang berarti “lakukan yang terbaik”.

Konsep ini juga menekankan pentingnya memberi pujian atas usaha, bukan hasil. Kalimat seperti “Kamu pintar sekali” diubah menjadi “Kamu bekerja keras ya” agar anak memahami bahwa usaha adalah hal yang patut diapresiasi.

Dengan cara ini, anak tidak takut gagal karena mereka tahu kegagalan adalah bagian dari proses belajar.

Psikolog Angela Duckworth dalam bukunya berjudul Grit, juga menilai sistem pendidikan Jepang sebagai contoh nyata bagaimana daya juang bisa ditanamkan sejak dini.

Anak-anak tidak dikelompokkan berdasarkan kecerdasan atau kemampuan alamiah, tapi semua diajarkan bahwa dengan latihan dan kerja keras, mereka bisa menguasai berbagai keterampilan. 

Filosofi daruma dan pentingnya belajar dari kegagalan

Filosofi “jatuh tujuh kali, bangkit delapan kali” juga tercermin dalam simbol budaya Jepang yang dikenal dengan Daruma. Mengutip dari laman BBC, boneka Daruma memiliki bentuk bulat dengan pemberat di bagian bawah sehingga selalu bangkit meski dijatuhkan berkali-kali.

Daruma bukan hanya hiasan, tetapi simbol ketekunan dan semangat pantang menyerah yang dijadikan teladan oleh banyak keluarga Jepang.

Tradisi membeli Daruma dengan satu mata kosong untuk diisi saat membuat harapan, lalu mengisi mata satunya saat harapan terwujud, mencerminkan proses berjuang dan refleksi diri.

Di dunia parenting, semangat ini diterjemahkan melalui konsep hansei, yaitu kebiasaan untuk merenung dan mengevaluasi diri. Anak-anak diajarkan untuk tidak takut gagal, namun belajar dari kegagalan agar bisa melangkah lebih baik di masa depan.

Nilai-nilai ini terbukti membentuk karakter masyarakat Jepang, bahkan dalam menghadapi bencana besar seperti gempa, tsunami, dan krisis lainnya. Seperti yang dikatakan Presiden Japan Society New York, Dr. Joshua W. Walker, “Seperti boneka Daruma yang selalu bangkit meski terjatuh, Jepang adalah model dari sebuah ketangguhan.

Cara membangun anak yang mandiri dan tidak takut gagal

Filosofi Jepang dalam pengasuhan anak bukan hanya menekankan kerja keras, tapi juga menumbuhkan kemandirian. Sejak kecil, anak dilatih melakukan tugas-tugas sederhana sendiri, seperti merapikan mainan atau membawa bekal ke sekolah.

Mereka dilatih untuk mencoba, gagal, dan mencoba lagi hingga terbiasa menghadapi tantangan tanpa mengandalkan bantuan orang tua secara berlebihan.

Menanamkan kalimat-kalimat seperti “Belum bisa” atau “Kita coba lagi ya” bisa menjadi langkah awal Bunda untuk membentuk mental tangguh pada Si Kecil. Anak yang terbiasa menghadapi tantangan dengan usaha akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan tangguh di masa depan.

Dengan membiasakan anak menghadapi tantangan, memberi dukungan atas usaha, serta membangun semangat pantang menyerah, Bunda bisa menumbuhkan pribadi mandiri dan kuat menghadapi kerasnya kehidupan.

Semoga artikel ini bisa menginspirasi Bunda dalam mendampingi tumbuh kembang Si Kecil. 

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(rap/rap)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda