
parenting
Kisah WNI Jadi Guru di Jepang, Sempat Insecure karena Merasa Muridnya Jauh Lebih Pintar
HaiBunda
Rabu, 16 Jul 2025 09:30 WIB

Daftar Isi
Nahla sudah hampir dua tahun bekerja sebagai Assistant Language Teacher (ALC) di sekolah negeri di Shizuoka, Jepang. Ia dipekerjakan sebagai pegawai kontrak oleh pemerintah setempat untuk mendampingi guru utama di sekolah Jepang.
Selama di Jepang, Nahla bekerja sebagai guru Bahasa Inggris. Ia mengajar dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP), Bunda.
Pengalaman awal bekerja di Jepang sempat membuat Nahla insecure. Saat itu, ia menganggap murid yang diajarnya di Jepang lebih pintar karena tinggal di negara maju. Namun, semua anggapan Nahla ternyata salah.
"Aku berpikir namanya negara maju gitu kan. Aduh nanti muridnya bakal yang bener-bener high class gitu, maksudnya aku takut enggak bisa jawab pertanyaan mereka atau gimana gitu. Tapi ya ternyata sama saja, semua murid itu sama saka, karena ibaratnya baru lahir mereka kan enggak tau apa-apa, jadi kita sebagai orang tuanya yang mengisi," kata Nahla saat dihubungi HaiBunda, Jumat (11/7/25).
Nahla merasa bahwa kualitas anak yang sekolah di Jepang sama saja dengan anak di Indonesia. Anak-anak di sana tetap memerlukan bimbingan dan didikan dari guru untuk bisa mendapatkan pengetahuan.
"Jadi sebenarnya kualitasnya sama saja gitu, mereka pun banyak enggak tahunya gitu, bukan yang out of nowhere mereka sudah pintar banget, enggak kayak gitu, semuanya sama. Jadi sama dengan murid di Indonesia pun kayak gitu. Kalau mereka enggak tahu ya kita ajarin gitu. Jadi bukan yang mereka udah dapat background knowledge banyak banget dari orang tuanya, atau mungkin karena mereka semua anak yang mampu ikut kursus, enggak begitu," ujarnya.
Salah satu pembeda sekolah di Jepang dengan di Indonesia adalah fasilitas. Semua sekolah di Jepang memiliki fasilitas yang lengkap sehingga anak bisa mengikuti banyak kegiatan bahkan di luar jam sekolah.
Tak hanya itu, sekolah negeri di Jepang juga gratis untuk biaya SPP, Bunda. Biaya yang dibayarkan orang tua murid hanya biaya seragam, field trip, dan makan siang di sekolah.
"Di sini sekolah negeri itu semuanya besar dan muridnya banyak karena menampung beberapa kelurahan atau kecamatan. Sekolah negeri di Jepang itu juga sudah pasti fasilitasnya lengkap dan semua terstandarisasi national. Jadi mereka sudah pasti punya gym, basketball field, lapangan bola yang luas, lapangan tenis, kolam renang, bahkan sekolah negeri itu gratis," ungkap Nahla.
"Selain itu, enggak cuman di akademis doang, di sekolah juga ada seperti klub seperti tenis meja, ada kejuaraan yang setiap tahun pasti ada kompetisinya dari nasional ke internasional. Jadi semuanya dapat kesempatan yang sama. Intinya tuh yang sukses-sukses di Jepang enggak cuma berangkat dari sekolah internasional atau swasta, tapi dari sekolah negeri pun banyak yang jadi 'orang'," sambungnya.
Kurikulum di sekolah Jepang mengutamakan kerja kelompok
Ada satu cara pembelajaran di sekolah Jepang yang berbeda dengan di Indonesia. Di Jepang, anak-anak sering mengerjakan tugas secara berkelompok, Bunda. Kelompok ini bahkan sudah dibentuk oleh sekolah sejak jam makan siang.
"Kita kan ada makan siang. Anak-anak Jepang tuh kalau makan siang, mereka wajib bikin kelompok supaya mereka bisa ngobrol dan enggak makan sendiri. Nah kelompok itu bukan cuma kelompok makan siang, tapi ketika ada tugas di satu sesi pelajaran, mereka pakai kelompok itu lagi. Misalnya, kalau pelajaran Bahasa Inggris. Di setiap sesi, aku biasanya ada grup aktivitas, seperti main game atau ngerjain worksheet. Jarang yang sendiri-sendiri gitu," imbuh Nahla.
Anak sekolah di Jepang juga tidak mentah-mentah menerima materi dari guru di setiap sesi pembelajaran. Biasanya, guru-guru di sana memberikan anak kebebasan untuk berpikir tentang suatu materi yang dibahas. Bila anak kesulitan, guru baru akan membantunya.
"Jadi mereka tuh kita kasih umpan buat berpikir. Kalau mereka sudah buntu banget, baru kita kasih tahu. Tapi mungkin ya, ada juga guru yang memang sukanya mengajar dengan hanya memberikan materi saja," ujar Nahla.
"Kalau saya di Bahasa Inggris, kan ada practical skill yang harus dilatih. Misalnya kalau belajar grammar itu tidak lagi menghafal tapi dilatih berulang-ulang dengan permainan, seperti bingo atau board game sugoroku," sambungnya.
Culture shock saat pertama kali menjadi guru di Jepang
![]() |
Saat awal menjadi guru di Jepang, Nahla mengaku sempat mengalami culture shock. Salah satunya adalah tentang kemampuan Bahasa Inggris anak-anak Jepang yang ternyata berbeda dengan anak di Indonesia, Bunda.
Menurut perempuan 28 tahun ini, kurikulum Bahasa Inggris di sekolah Jepang jauh berbeda dengan di Indonesia. Nahla masih banyak menemukan anak-anak yang kesulitan memahami Bahasa Inggris meski sudah masuk jenjang SMP.
"Kemampuan bahasa Inggris mereka tuh memang masih kurang banget. Jadi kurikulum Bahasa Inggrisnya jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia," cerita Nahla.
"Aku memang enggak pernah jadi guru di Indonesia, tapi kan aku pernah sekolah di sana, jadi aku lumayan tahu. Jadi kayak pelajaran ini sudah dipelajarin saat awal SMP, tapi kok mereka baru belajar ini. Anak-anak Jepang belajar Bahasa Inggris di kelas 1 SD baru cuma main-main doang, bukan yang sudah kayak gimana-gimana gitu," lanjutnya.
Lantaran hal tersebut, Nahla juga mesti menyesuaikan cara mengajarnya dengan anak-anak sekolah di Jepang. Ia diminta untuk bicara menggunakan Bahasa Inggris standar yang setidaknya mampu dipahami anak-anak.
Culture shock dengan budaya disiplin di Jepang
Selain soal kurikulum Bahasa Inggris, Nahla juga mengalami culture shock dengan budaya Jepang yang disiplin. Guru-guru sekolah di Negeri Sakura kerap kali bekerja lembur untuk mengurus aktivitas anak di luar jam belajar.
"Mereka tuh bisa kerja sampai malam gitu karena ngurusin yang club activities. Jadi sekolah tuh enggak selalu mendatangkan coach dari luar, bisa saja guru Bahasa Inggris punya tanggung jawab menjadi pelatih di klub tenis. Mereka mengajar di kelas formal sampai jam 2 siang, nanti mulai jam klub itu setengah 4. Hari Sabtu pun mereka ada klub dan guru yang bertugas harus datang. Jadi mereka pada dasarnya hidup di sekolah," ujar Nahla.
Nahla sendiri tidak memiliki kewajiban untuk mengurus klub atau bekerja lembur di sekolah. Selain karena ia adalah karyawan kontrak, Nahla bukanlah guru utama atau hanya bekerja sebagai Assistant Language Teacher (ALC).
Selama hampir dua tahun bekerja di Jepang, Nahla juga sedikit demi sedikit paham dengan budaya disiplin orang-orang di sana. Meski tidak memiliki aturan tertulis, ia selalu bekerja secara profesional dengan membatasi penggunaan ponsel saat jam kerja.
"Selama di sini, aku ikut jadi lebih profesional gitu. Jadi selama jam kerja aku bener-bener kerja. Aku dari awal juga sudah diperingatkan sama trainer aku, dia bilang orang Jepang itu naif atau serius. Jadi, kalau kita main handphone (HP) terus, pasti diomongin. Jadi aku menghindari itu biar enggak jadi masalah. Kalau pun kita benar-benar harus pakai HP karena urusan penting, aku ke toilet atau ruang salat," tuturnya.
"Pokoknya harus profesional dan enggak bisa sembarangan. Kita kan bagaimanapun orang asing ya, jadi harus tahu cara memposisikan diri, dan kita juga bawa nama Indonesia," imbuh Nahla.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(ank/fir)TOPIK TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT

Parenting
Tas Cinta Anak Uya Kuya Dibongkar Sang Ayah, Ketahuan Simpan Kupon Diskon Makanan

Parenting
Beruntung! Anak Eks Artis FTV Nanda Gita Dibiayai Pemerintah Belanda hingga Usia 17 Th

Parenting
Cerita Bunda Ajukan Menu Halal untuk Anak di Sekolah, Diminta Ikut Rapat dengan Ahli Gizi

Parenting
Kisah Bunda Muslimah Besarkan 3 Anak di Amerika, Khawatirkan Makanan Si Kecil

Parenting
Keren Bun! Yuma, Bocah Indonesia Dapat Beasiswa 4 Kali dari Apple


7 Foto
Parenting
7 Potret Anak Artis Jago Olahraga Sejak Kecil, Salah Satunya Putra Sandra Dewi
HIGHLIGHT
HAIBUNDA STORIES
REKOMENDASI PRODUK
INFOGRAFIS
KOMIK BUNDA
FOTO
Fase Bunda