Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

kehamilan

Perjuangan Ibu Melahirkan: Dampak Trauma Tersembunyi yang Jarang Dibicarakan

Annisa Aulia Rahim   |   HaiBunda

Selasa, 30 Dec 2025 14:25 WIB

Persalinan alami Koma
Perjuangan Ibu Melahirkan: Dampak Trauma Tersembunyi yang Jarang Dibicarakan/Foto: Getty Images/SDI Productions
Daftar Isi
Jakarta -

Melahirkan sering dipersepsikan sebagai momen paling membahagiakan dalam hidup seorang perempuan. Tangis bayi, ucapan selamat, dan potret keluarga baru kerap menutupi satu sisi lain yang jarang dibicarakan: Trauma persalinan. Bagi sebagian Bunda, proses melahirkan bukan hanya melelahkan secara fisik, tetapi juga meninggalkan luka psikologis yang bertahan lama.

Melahirkan bukan selalu pengalaman indah

Setiap persalinan memiliki cerita yang berbeda. Banyak orang membayangkan proses melahirkan sebagai momen paling bahagia dalam hidup seorang perempuan. Tangis pertama bayi, pelukan hangat, dan rasa lega sering jadi gambaran utamanya. Namun kenyataannya, tidak semua ibu mengalami persalinan sebagai pengalaman yang indah.

Bagi sebagian perempuan, proses melahirkan justru meninggalkan luka emosional yang dalam. Ada Bunda yang menjalani proses panjang dan penuh rasa sakit, ada yang menghadapi komplikasi medis mendadak, tindakan darurat, hingga kehilangan rasa kontrol atas tubuhnya sendiri. Pengalaman-pengalaman ini dapat memicu stres berat, ketakutan ekstrem, bahkan perasaan gagal sebagai ibu meski kenyataannya mereka telah berjuang luar biasa. Meski ibu dan bayi dinyatakan selamat secara medis, kondisi psikologis ibu belum tentu baik-baik saja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Dikutip dari The bump, melahirkan adalah suatu prestasi fisik, dan tidak jarang ibu baru mengalami pembengkakan, wasir, atau jahitan setelah robekan vagina atau operasi caesar. 

“Perempuan berpikir mereka tidak akan pernah merasa normal lagi, tetapi mereka akan merasakannya,” kata ketua Obstetri dan Ginekologi di Gottlieb Memorial Hospital dari Loyola University Health System di Melrose Park, Illinois, Karen Deighan, MD.

Trauma persalinan sering kali bersifat 'sunyi'. Ibu merasa bersalah karena dianggap tidak bersyukur, atau takut dicap lemah jika mengaku masih takut, sedih, atau teringat terus pada proses melahirkan. Padahal, perasaan ini nyata dan valid.

Penting untuk dipahami bahwa melahirkan bukan sekadar peristiwa fisik, tetapi juga pengalaman emosional yang sangat intens. Mengakui bahwa melahirkan tidak selalu indah adalah langkah awal untuk memberi ruang bagi ibu agar pulih, baik secara tubuh maupun jiwa. Dukungan pasangan, keluarga, dan tenaga kesehatan yang empatik dapat membuat perbedaan besar dalam proses pemulihan ini.

Trauma tersembunyi yang sering tak disadari

Banyak ibu tidak menyadari bahwa perasaan cemas berlebihan, mimpi buruk tentang persalinan, atau keengganan membicarakan pengalaman melahirkan adalah tanda trauma. Tidak semua trauma persalinan muncul dalam bentuk tangisan atau kepanikan yang jelas. Banyak ibu justru menjalani hari-hari setelah melahirkan sambil merasa 'baik-baik saja', padahal di dalam dirinya ada luka yang belum pulih.

Trauma ini sering tersembunyi di balik kalimat seperti 'yang penting bayinya selamat' atau 'udah lewat, jangan diingat lagi'. Ibu menekan perasaannya sendiri, menganggap apa yang ia alami bukan masalah besar, atau merasa tidak pantas mengeluh. Akibatnya, trauma perlahan terpendam.

Tanda-tandanya bisa sangat halus: ibu merasa cemas berlebihan, sulit tidur meski bayi tertidur, mudah menangis tanpa alasan jelas, atau tiba-tiba teringat kembali proses persalinan dengan perasaan takut dan sesak. Ada juga yang merasa jauh secara emosional dari bayinya, atau sangat takut memikirkan kehamilan dan persalinan berikutnya.

Karena tidak disadari, trauma persalinan kerap terlambat ditangani. Padahal, luka emosional yang dibiarkan bisa memengaruhi kesehatan mental ibu, hubungan dengan pasangan, serta proses bonding dengan bayi. Minimnya ruang aman untuk bercerita, banyak ibu memilih diam. Mereka takut dicap 'tidak bersyukur' atau dianggap berlebihan. Menyadari bahwa perasaan ini ada dan bahwa ibu tidak sendirian adalah langkah penting menuju pemulihan.

Faktor pemicu trauma persalinan sangat beragam, di antaranya:

  • Persalinan yang berlangsung lama atau sangat melelahkan, hingga ibu merasa kehilangan kontrol atas tubuhnya sendiri.
  • Nyeri persalinan yang intens atau pengalaman rasa sakit yang tidak tertangani dengan baik.
  • Tindakan medis darurat, seperti operasi caesar mendadak, vakum, atau forceps, yang terjadi tanpa kesiapan mental ibu.
  • Kurangnya komunikasi dan persetujuan (informed consent) sebelum tindakan medis dilakukan.
  • Pengalaman merasa diabaikan, dimarahi, atau tidak didengarkan oleh tenaga kesehatan saat persalinan.
  • Komplikasi medis, seperti perdarahan hebat, preeklamsia, atau gawat janin.
  • Riwayat trauma sebelumnya, termasuk kekerasan seksual atau pengalaman medis traumatis di masa lalu.
  • Lingkungan persalinan yang menegangkan, penuh tekanan, atau minim dukungan emosional.
  • Harapan persalinan yang jauh dari kenyataan, misalnya berharap persalinan normal namun berakhir darurat.

Dampak trauma persalinan pada kehidupan Bunda

Trauma persalinan tidak berhenti di ruang bersalin. Dampaknya bisa ikut terbawa ke berbagai aspek kehidupan ibu, bahkan jauh setelah masa nifas berlalu.

Secara emosional, ibu dapat mengalami kecemasan berkepanjangan, rasa takut yang muncul tiba-tiba, hingga gejala depresi pasca melahirkan atau PTSD postpartum. Ibu mungkin sering menyalahkan diri sendiri, merasa gagal, atau kehilangan kepercayaan pada tubuhnya sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, trauma ini bisa membuat ibu sulit beristirahat, mudah tersinggung, dan merasa kewalahan menghadapi peran barunya. Aktivitas sederhana terasa berat karena energi mental sudah terkuras lebih dulu.

Dampaknya juga dapat terasa dalam hubungan dengan bayi. Sebagian ibu mengalami kesulitan membangun kedekatan emosional, merasa “asing” dengan bayinya, atau justru menjadi sangat cemas dan overprotektif. Ini bukan karena kurangnya kasih sayang, melainkan respons alami tubuh dan pikiran terhadap pengalaman traumatis.

Hubungan dengan pasangan pun bisa terpengaruh. Kurangnya pemahaman, komunikasi yang terhambat, atau perbedaan cara memaknai pengalaman melahirkan dapat menimbulkan jarak emosional. Jika tidak disadari dan ditangani, trauma persalinan berpotensi memengaruhi kualitas hidup ibu secara menyeluruh.

Mengakui dampak ini bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk kepedulian pada diri sendiri. Ibu berhak untuk pulih, didengar, dan mendapatkan dukungan yang ia butuhkan.

Pemulihan trauma persalinan: Dimulai dari validasi

Langkah awal pemulihan adalah mengakui bahwa pengalaman tersebut memang berat. Ibu berhak merasa lelah, takut, dan terluka tanpa harus merasa bersalah. Dukungan pasangan, keluarga, dan tenaga kesehatan yang empatik sangat berperan.

Beberapa langkah yang bisa membantu:

  • Bercerita pada orang yang dipercaya tanpa dihakimi
  • Mengikuti konseling atau terapi pascapersalinan
  • Bergabung dengan komunitas ibu untuk berbagi pengalaman
  • Memberi waktu pada diri sendiri untuk pulih, secara fisik dan emosional

Setiap ibu yang melahirkan adalah pejuang. Mengakui adanya trauma bukan berarti melemahkan makna kelahiran, justru memperkuatnya. Dengan membuka ruang diskusi yang lebih jujur dan empatik, kita bisa membantu lebih banyak ibu merasa didengar, dipahami, dan tidak sendirian.

Karena di balik setiap kelahiran, ada seorang ibu yang telah mempertaruhkan tubuh dan jiwanya dan itu layak dihargai sepenuhnya.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(pri/pri)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda