Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

kehamilan

Tercatat, Angka Kematian di Jepang Lebih Tinggi daripada Kelahiran pada Tahun Lalu

Annisa Aulia Rahim   |   HaiBunda

Jumat, 05 Sep 2025 14:30 WIB

Ilustrasi melahirkan
Tercatat, Angka Kematian di Jepang Lebih Tinggi daripada Kelahiran pada Tahun Lalu/Foto: Getty Images/kieferpix
Daftar Isi
Jakarta -

Pernahkah terpikirkan bagaimana jika jumlah orang yang meninggal lebih banyak daripada bayi yang lahir di suatu negara? Inilah yang sedang terjadi di Jepang. Menurut laporan terbaru, pada tahun lalu angka kematian di Jepang tercatat lebih tinggi dibandingkan jumlah kelahiran bayi. Fenomena ini bukan pertama kali terjadi, namun semakin menegaskan tantangan besar yang dihadapi 'Negeri Sakura'.

Fakta angka kelahiran dan kematian di Jepang

Dikutip dari BBC, Hampir satu juta lebih kematian daripada kelahiran tercatat di Jepang tahun lalu, yang merupakan penurunan populasi tahunan tertajam sejak survei pemerintah dimulai pada tahun 1968.

Data baru yang dirilis pada hari Rabu oleh Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi menunjukkan jumlah warga negara Jepang turun sebesar 908.574 pada tahun 2024. Jepang mencatat 686.061 kelahiran, jumlah terendah sejak pencatatan dimulai pada tahun 1899 sementara hampir 1,6 juta orang meninggal, yang berarti untuk setiap bayi yang lahir, lebih dari dua orang meninggal.

Ini menandai penurunan populasi selama 16 tahun berturut-turut, dengan tekanan yang dirasakan oleh sistem pensiun dan layanan kesehatan negara. Jumlah penduduk asing mencapai rekor tertinggi, yaitu 3,6 juta orang per 1 Januari 2025, yang mewakili hampir 3 persen dari populasi Jepang.

Mengapa bisa terjadi?

Fenomena ini terjadi karena Jepang memiliki struktur penduduk yang didominasi oleh usia lanjut. Negara ini dikenal sebagai salah satu dengan jumlah lansia terbanyak di dunia.

Sementara itu, generasi muda cenderung menunda pernikahan atau bahkan memilih untuk tidak menikah. Ditambah lagi, biaya hidup serta pengasuhan anak yang tinggi membuat banyak pasangan merasa berat untuk memiliki anak lebih dari satu, bahkan ada yang memutuskan tidak memiliki keturunan sama sekali.

Kombinasi dari faktor-faktor inilah yang menyebabkan angka kelahiran semakin rendah, sementara angka kematian terus meningkat.

Dampaknya pun sangat luas. Berkurangnya jumlah kelahiran membuat tenaga kerja produktif semakin menipis, sementara jumlah lansia terus bertambah. Hal ini menimbulkan beban besar bagi ekonomi, karena pemerintah harus mengalokasikan anggaran lebih banyak untuk biaya kesehatan dan jaminan sosial.

Selain itu, banyak desa dan kota kecil di Jepang perlahan mulai kehilangan penduduk, karena tidak ada generasi baru yang tumbuh di sana. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang bagaimana Jepang bisa mempertahankan stabilitas sosial dan ekonominya di masa depan jika tren tersebut berlanjut.

Tindakan pemerintah

Perdana Menteri Shigeru Ishiba menggambarkan krisis demografi populasi lanjut usia Jepang sebagai 'darurat yang tenang', menjanjikan kebijakan ramah keluarga seperti penitipan anak gratis dan jam kerja yang lebih fleksibel. Namun, upaya untuk membalikkan angka kelahiran yang rendah di kalangan perempuan Jepang sejauh ini belum memberikan dampak yang signifikan.

Pemerintah telah secara tentatif merangkul tenaga kerja asing dengan meluncurkan visa nomaden digital dan inisiatif peningkatan keterampilan, tetapi imigrasi tetap sarat dengan isu politik di negara yang sebagian besar konservatif ini. Populasi keseluruhan negara ini menurun sebesar 0,44 persen dari tahun 2023 menjadi sekitar 124,3 juta jiwa pada awal tahun.

Menurut Bank Dunia, lansia berusia 65 tahun ke atas kini mencapai hampir 30 persen dari populasi, proporsi tertinggi kedua di dunia setelah Monako. Populasi usia kerja, yang didefinisikan sebagai mereka yang berusia antara 15 dan 64 tahun, telah turun menjadi sekitar 60 persen. Semakin banyak kota dan desa yang terbengkalai, dengan hampir empat juta rumah terbengkalai selama dua dekade terakhir, menurut data pemerintah yang dirilis tahun lalu.

Pemerintah telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencoba meningkatkan angka kelahiran dengan berbagai insentif, mulai dari subsidi perumahan hingga cuti orang tua berbayar. Namun, hambatan budaya dan ekonomi yang mengakar masih tetap ada.

Biaya hidup yang tinggi, upah yang stagnan, dan budaya kerja yang kaku menghalangi banyak anak muda untuk memulai keluarga. Perempuan, khususnya, menghadapi peran gender yang mengakar yang sering kali membuat mereka hanya memiliki sedikit dukungan sebagai pengasuh utama.

Tingkat kesuburan Jepang rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang perempuan selama hidupnya telah rendah sejak tahun 1970-an, sehingga para ahli memperingatkan bahwa bahkan perbaikan dramatis saat ini pun akan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk membuahkan hasil.

Di Indonesia sendiri, pemerintah masih gencar mendorong program keluarga sehat, perencanaan kehamilan, hingga dukungan untuk tumbuh kembang anak. Bunda yang merencanakan kehamilan atau sedang mendampingi Si Kecil tumbuh, punya peran besar menjaga masa depan bangsa agar tetap seimbang dan berdaya.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(pri/pri)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda