Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

kehamilan

Mengenal Tradisi Makan Tanah saat Hamil di Beberapa Negara Termasuk Indonesia, Ketahui Risikonya untuk Janin

Melly Febrida   |   HaiBunda

Rabu, 20 Aug 2025 08:30 WIB

ilustrasi ibu hamil makan
Mengenal Tradisi Makan Tanah saat Hamil di Beberapa Negara Termasuk Indonesia, Ketahui Risikonya untuk Janin/Foto: iStock
Daftar Isi
Jakarta -

Bunda mungkin pernah mendengar ibu hamil yang mengidam makan tanah. Namun, ada juga lho tradisi makan tanah saat hamil di beberapa negara, termasuk Indonesia. Apakah ada risikonya untuk janin?

Tradisi makan tanah liat atau dikenal dengan praktik geofagi banyak ditemukan pada ibu hamil di masyarakat tradisional dan pedesaan. Misalnya saja di Indonesia, ibu hamil makan tanah liat ampo di Jawa Tengah dan Timur.

Mengenal tradisi makan tanah saat hamil dan manfaatnya

Melansir laman Aip.Org, tradisi makan tanah liat geofahi memiliki sejarah yang kuat di kalangan perempuan di Afrika. Menurut tradisi, khususnya ibu hamil mendapatkan manfaat dari mengonsumsi tanah liat. Apa saja?

Makan tanah liat dipercaya dapat mengeluarkan racun dari tubuh. Tanah liat ini dipercaya mengikat racun di usus. Racun dicegah memasuki aliran darah dan justru dikeluarkan dari tubuh bersama limbah. 

Selain itu, makan tanah liat juga dapat mengobati mual atau menyediakan sumber kalsium serta mineral lainnya. Sebuah studi terbaru dalam jurnal Environmental Research menunjukkan bahwa geofagi dapat menyebabkan kadar timbal yang berbahaya pada bayi yang belum lahir, terlepas dari manfaat yang seharusnya.

Tren konsumsi tanah liat juga terjadi di AS. Tanah liat ini dikonsumsi untuk penyembuhan. Namun, FDA memperingatkan bahwa bahan ini mungkin tidak aman untuk dikonsumsi. 

Tanah liat sudah digunakan dalam obat-obatan bebas. Hingga awal 1990-an, Kaolin, tanah liat putih lunak, merupakan zat aktif Kaopectate, obat antidiare. Kaolin digantikan oleh atapulgit, tanah liat penyerap lainnya, hingga tahun 2003 ketika FDA menganggap efektivitasnya tidak jelas.

"Sejumlah besar hewan sengaja memakan tanah. Jadi, tidak mengherankan jika manusia juga memakan tanah," kata Peter Abrahams, pensiunan ahli geokimia lingkungan yang mempelajari tanah dan kesehatan manusia. 

Ia mengatakan manfaat yang diduga merupakan 'hipotesis menarik' untuk menjelaskan praktik tersebut, tetapi belum pernah terbukti.

Ketahui risiko makan tanah ke janin

Ruth Kutalek dari Universitas Kedokteran di Wina berjalan-jalan di pasar-pasar di Tanzania. Di sana ia melihat benda asing yang dijual seperti gumpalan tanah liat berbentuk cerutu, yang tujuannya untuk dimakan. 

Kutalek kemudian mencari tahu dari berbagai literatur dan menemukan bahwa hanya ada sedikit tempat di dunia di mana geofagi tidak dipraktikkan pada suatu masa dalam sejarah. Ia menemukan bahwa penelitian menunjukkan separuh dari seluruh perempuan hamil di Afrika mengonsumsi tanah liat, tetapi ketika Kutalek mulai berbicara dengan para perempuan tersebut, ia mulai percaya bahwa jumlahnya jauh lebih tinggi. 

Tanah secara alami mengandung setidaknya sedikit timbal, dan bahkan sejumlah kecil logam yang terakumulasi di dalam tubuh dapat menyebabkan masalah.

Kutalek bertanya-tanya apakah geofagi membahayakan perempuan dan anak-anaknya yang belum lahir. Sayangnya datanya sangat kurang. "Tidak ada yang menelitinya," katanya. Ia mulai mempelajari masalah ini dengan rekannya, Claudia Gundacker.

Tim tersebut melakukan studi percontohan di dua wilayah terpencil di Republik Demokratik Kongo, sebuah negara besar di Afrika Tengah. Sebanyak 48 perempuan yang selalu membawa tanah liat di tas tangan mereka diwawancarai. Para perempuan tersebut melaporkan membeli tanah liat dari pasar atau memanennya dari dasar sungai. 

Kutalek dan rekan-rekannya tidak menguji kadar timbal dalam tanah; mereka justru mengukur jumlah timbal dalam darah yang dikumpulkan dari ibu dan dari tali pusar setelah lahir.

Kadar timbal dalam sampel darah yang dikumpulkan dari ibu dan anak di Republik Demokratik Kongo lebih dari empat kali lebih tinggi daripada yang ditemukan di Austria, di mana ibu cenderung tidak melakukan geofagi. 

Bayi baru lahir di Republik Demokratik Kongo memiliki kadar timbal dalam darah rata-rata 60 mikrogram per liter, sedangkan di Austria rata-ratanya adalah 13.

Karena timbal terakumulasi di dalam tubuh, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menyatakan tidak ada kadar timbal dalam darah yang aman untuk anak-anak. Namun, CDC dan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) mengidentifikasi kadar timbal dalam darah 50 mikrogram atau lebih per liter pada anak-anak sebagai area yang perlu diwaspadai. 

Mereka berdua sepakat bahwa kadar timbal berapa pun dapat memengaruhi pertumbuhan atau pendengaran bayi, atau menyebabkan masalah belajar dan perilaku. Dalam kasus ekstrem, keracunan timbal dapat mengakibatkan kematian. Keracunan timbal di AS telah menurun sejak timbal dihilangkan dari bensin dan cat pada akhir tahun 1970-an. Namun, orang masih dapat terpapar timbal dari debu cat, pipa air bekas, atau tembikar.

“Timbal yang terakumulasi di dalam tubuh berbahaya bagi perkembangan saraf janin. Kita belum tahu berapa kadar timbal yang tidak berbahaya. Seharusnya tidak ada konsumsi timbal,” ujarnya.

Kutalek yakin penelitiannya mulai mengungkap hubungan antara geofagi dan peningkatan kadar timbal dalam darah -- cukup untuk meyakinkannya bahwa tanah liat tidak boleh dikonsumsi, terutama oleh ibu hamil.

Abrahams tidak terkejut dengan temuan Kutalek. “Saya tidak akan pernah merekomendasikan [memakan tanah]. Ada sejumlah risiko bagi ibu hamil, dan paparan timbal merupakan risiko bagi bayi yang belum lahir,” katanya.

Penampakan ampo, olahan dari tanah liat khas Bantul, versi kecil. Foto diunggah Jumat (13/6/2025).Penampakan ampo/ Foto: dok. Atun Dwi Astuti

Tradisi ibu hamil makan tanah liat di Indonesia

Indonesia punya olahan tanah liat yang dinamakan Ampo. Ibu hamil termasuk yang mengonsumsi Ampo.  Ampo merupakan olahan tanah liat murni berbentuk gulungan tipis tanah liat kering seukuran jari manusia. Salah satu pembuat Ampo di Kerten, Imogiri, Bantul, Atun Dwi Astuti (43) menjelaskan Ampo memiliki dua ukuran.

Atun menjelaskan, untuk proses pembuatannya dimulai dengan mengolah tanah liat agar bersih dari sisa batu dan mudah dibentuk. Kemudian dipadatkan dan dibentuk bundar seukuran ban motor agar mudah saat proses pengirisan.

"Pertama tanah itu kita rendam air, biar bisa dibentuk. Kalau sudah 1-2 hari nanti tanahnya bisa istilahnya pulen gitu, kan sebelumnya keras," papar Atun.

"Terus kita cetak bulet itu, pakai veleg motor. Kita padatkan terus kita diamkan satu malam, kita angin-angin kan biar agak keras. Terus dikempleng, dipukul-pukul, setelah itu baru bisa diiris," sambungnya.

Atun mengatakan, ada mitos unik pada jenis Ampo konsumsi. Konon, jika ibu hamil mengonsumsi Ampo bisa membuat kulit bayi yang dilahirkan menjadi putih bersih. Ia pun mengaku pernah mendapat pesanan Ampo untuk ibu hamil.

Menurutnya Ampo untuk ibu hamil melalui proses pengeringan yang dipanggang. Atun bilang, Ampo panggang mengeluarkan aroma harum.

"Saya pernah dengar itu dulu kalau orang ngidam itu biasanya makan Ampo, tapi Ampo yang kecil-kecil itu. Prosesnya setelah diiris itu diangin-anginkan sebentar terus dipanggang pakai sabut kelapa. Nanti baunya harum," ujarnya.

"Katanya biar anaknya (kulitnya) putih itu. Dulu ada yang cari juga, ya itu Ampo kecil yang dipanggang. Baunya harum itu, kayak tanah kering kena hujan itu lho," imbuhnya.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(pri/pri)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda